maker gif

Jumat, 13 Juli 2012




Grup  Facebook PASUNDAN WETAN
(Riung Mungpulung Silaturahmi Urang Sunda)



A. Propil
Propil  Grup  PASUNDAN WETAN  nyumber tina  sikep anu ngangkat ajen masyarakat Sunda Jawa Barat dina ngudag kamajuan jeung pikiran anu parigel jeung cekas pikeun nangtukeun lengkah geusan wujudkeun  tali  silaturahmi  urang sunda  Provinsi Jawa Barat anu Gemah Ripah Repeh Rapih.

B. SIPAT.
Grup  PASUNDAN WETAN teh sipatna mandiri , independent  jeung netral. Diadegkeunana PASUNDAN WETAN dimimitian tina gunem catur panjang diantara Baraya  Sunda Jawa Barat anu ngabogaan sikep babarayaan , disiplin elmu jeung propesi anu mibanda pamikiran anu rancage, parigel, perceka, tanginas tur binangkit geusan ilubiung ngaronjatkeun jeung ngamumule ajen  Seni, Budaya, Bahasa  Sunda jeung kultur falsafah Sunda.



SILATURAHMI DALAM ISLAM
Silaturahmi atau hubungan kekerabatan dalam menyambung tali persaudaraan sangat penting karena hal ini banyak di sebutkan dalam Al Qur'an dan As- Sunnah secara terperinci. Islam memotivasi untuk bersilaturahmi dan memuji orang yang menyambungnya, bahkan islampun memperingatkan dari memutuskan silaturahmi dengan mengancam pelakunya dengan siksaan yang besar di dunia dan akhirat.

Allah berfirman dalam Al Qur'an : Surat Ar-Ra'd [13]: 21 "dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan (yaitu mengadakan silaturahim dan tali persaudaraan) , dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk." lihat pula Surat Al-Isra [17]: 26 dan Surat An-Nisa[4]: 36.
Dalam Hadistnya : "Ar-Rahim (Rasa persaudaraan) bergantung di Arsy. Ia berkata:"Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akanmenyambungnya dan barang siapa yang memutusku, Allah akan memutusnya" (HR Ahmad)

CARA BERSILATURAHMI
Silaturahmi di jaman sekarang ini amat mudah manfaatkanlah kecanggihan tehnologi untuk menyambung silaturahmi dengan handai taulan kita. Ibnu Abbas Ra meriwayatkan; Rasulullah SAW bersabda "sambunglah hubungan kekeluargaanmu, walau hanya dengan salam". lebih rinci lagi cara silaturahmi yang diajarkan Rasulullah SAW adalah sbb: Dari Abu hurairah Ra,  Rasulullah SAW bersabda:"Janganlah kalian saling dengki, jangan saling meninggikan harta, jangan saling membelakangi, Jadilah kalian hamba- hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu saudara muslim yang lainnya, tidak boleh berbuat dzalim kepadanya, tidak boleh merendahkannya, tidak bolehmenipunya, dan tidak boleh menghinanya. Takwa itu ada disini."Beliau menunjuk dadanya tiga kali". cukup jahad seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram
darahnya, hartanya dan kehormatannya" (HRMuslim).

HIKMAH SILATURAHMI
1. Silaturahmi landasan tegaknya Islam.
Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah dia memuliakan tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah mengatakan yang baik atau diam saja" (HR. Bukhari Muslim)
2. Rahmat akan meliputi bagi yang menghubungkan kekeluargaan yang kuat.
Firman Allah : Surat At Taubah[9]: 71 "Dan orang-orang yang beriman,
lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat olehAllah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
3. Dipanjangkan umur dan ditambah rizki-nya.
Rasulullah SAW bersabda “ Barang siapa yang suka dipanjangkan umurnya dan ditambah rizkinya, hendaknya bertaqwa kepada Allah dan menyambung sanak kerabat  ” (HR.  Bukhari) Dari Abu Hurairah Ra, dia berkata :
” Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang suka dilapangkan rizkinya, dan dipanjangkan umurnya maka sambunglah tali Silaturahmi. ”
4.Terhindar mati jelek (Su-ul Khatimah) Rasulullah SAW bersabda : “ Barangsiapa yang menginginkan Allah memanjangkan Umurnya dan diperluas rezekinya serta terhindar dari mati jelek (su-ul khatimah), hendaklah ia bertawakal kepada Allah dan menyambung sanak kerabat ”
5.Tanda berakhlak mulia Rasulullah SAW bersabda : “ Rasulullah SAW bersabda: “ Menyambung sanak kerabat, Berakhlak mulia dan hidup bertetangga dengan baik, bisa memakmurkan kampong dan Menambah umur. (HRAhmad)
6. Ridha dan murka Allah tergantung orang tua Dari Abdullah bin ‘Amir bin al-Ash Ra,     dari Nabi SAW beliau bersabda : ”Ridha Allah ada pada keridhaan kedua orang tua, dan murka Allah ada pada kemurkaan kedua orang tua ” (HR at-Tirmidzi).


Kebudayaan Cirebon & Indramayu





Balai Kota Cirebon

Letaknya yang secara geokultur berada di perlintasan dua kebudayaan besar membuat masyarakat di Cirebon, Indramayu, dan (sebagian) Majalengka (Ciayumaja) memiliki dua bahasa ibu. Perjalanan sejarahnya yang panjang kemudian membentuk peta kebudayaan yang mencerminkan adanya tarik-menarik pengaruh di antara dua kebudayaan besar tadi.
Penggunaan Basa Jawa Cerbon/Dermayon
Sunda Lelea & Parean
Masyarakat dwibahasa di Majalengka, terdapat di Majalengka bagian utara berbatasan dengan Indramayu seperti Jatitujuh dan sekitarnya. Sementara masyarakat berdwibahasa di Indramayu, terdapat di wilayah barat (Haurgeulis dan sekitarnya) yang berbatasan dengan Subang, serta Bangodua dan sekitarnya yang berbatasan dengan Majalengka.
Sumber: Pikiran Rakyat,



Yang dimaksud dua kebudayaan besar itu ialah Sunda di sebelah barat dan selatan, serta Jawa di sebelah timur dan utara. Pengaruh Sunda, dalam sejarahnya lebih bersifat politis karena Cirebon (Ciayumaja) dijadikan sebagai bagian dari wilayah kekuasaan (geopolitik) kerajaan-kerajaan Buddha-Hindu Kuno seperti Galuh, Pajajaran, dan Sumedang Larang.
Sementara pengaruh Jawa, lebih bersifat kebudayaan (geokultur) melalui interaksi sosial yang terbentuk karena letak geografis pesisir pantura yang strategis sebagai sentra perdagangan. Masuknya Islam pada abad ke-15 sampai ke-16, di antaranya lewat syiar Islam Sunan Gunung Djati yang menggunakan bahasa Jawa, seolah makin mempertegas pengaruh Jawa secara kebudayaan di wilayah tersebut.
Tarik-menarik di antara dua kebudayaan besar tadi, dalam perjalanannya, kemudian menghasilkan suatu kebudayaan tersendiri, yakni apa yang sampai sekarang disebut dengan kebudayaan Cirebon. Dari sisi kebahasaan, masyarakat yang berdiam di Ciayumaja, sampai sekarang lalu mengenal dua bahasa ibu (dwibahasa), yakni Sunda dan Jawa.
Dari sisi kebahasaan (bahasa ibu) tadi, terbentuk pula peta dua bahasa yang bila merunut lewat kronologi sejarah atau proses terbentuknya konstruksi sosiologis dan antropologis masyarakatnya, menggambarkan intensitas pengaruh dari dua kebudayaan besar tadi (Sunda dan Jawa). Dalam konteks kewilayahan secara administratif kenegaraan masa sekarang, di antara lima daerah, yakni Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka, serta Kuningan (Ciayumajakuning), hanya masyarakat Kuningan yang bahasa ibunya sama dengan daerah Pasundan umumnya, yakni bahasa Sunda. Empat daerah lainnya, yakni Ciayumaja, mengenal dua bahasa ibu, Sunda dan Jawa.
Akibat tarik-menarik pengaruh tadi, terbentuk entitas kebudayaan tersendiri yang disebut kebudayaan Cirebon. Dari segi bahasa, juga kemudian membentuk bahasa tersendiri, yakni yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai Sunda Cirebon atau juga Jawa Cirebon.
Kata “Cirebon” menunjukkan bahasa Sunda yang dipakai masyarakat Ciayumaja, terdapat kekhasan, pun demikian dengan bahasa Jawa. Ada perbedaan-perbedaan dengan Sunda atau Jawa mainstream, terutama pada dialek (irama bahasa) dan idiolek (ragam bahasa).
Perbedaan yang terasa itu pada dialek dan idiolek. Sunda yang digunakan wong Cerbon, beda dengan Sunda mainstream. Juga dengan bahasa Jawanya. Dari fenomena itu muncul “peng-aku-an” bahwa Cirebon ya Cirebon, bukan Sunda maupun Jawa.
Pada fenomena itu, terdapat pula sisi keanehan, yakni bahwa bahasa Sunda dan Jawa yang digunakan masyarakat di Ciayumaja, terdapat kosakata “Sunda Buhun” dan “Jawa Kuno” yang di masyarakat Pasundan atau Jawa sudah tidak lagi digunakan.
Contohnya seperti masyarakat Kecamatan Lelea di Indramayu yang berbahasa Sunda (atau disebut Sunda Lelea). Untuk menyebut kata “istriku”, bukan pamajikan atau pamajikan urang, tetapi panotog aing. Menurut Nurochman Sudibyo, budayawan setempat, panotog itu kosakata Sunda Buhun yang oleh masyarakat Pasundan sendiri sudah tidak lagi digunakan atau hilang.
Untuk bahasa Jawa, misalnya kata bobat (bohong), masyarakat Jawa (di Jateng dan Jatim) sudah sama sekali tidak mengenal. Untuk menyebut “bohong”, rata-rata orang Jawa menyebut dengan lombo atau nglombo atau ngapusi.
Kata bobat ini merupakan bahasa Jawa kuno yang oleh rata-rata masyarakat Jawa sendiri sudah tidak digunakan. Padahal, di balik kata bobat ada peristiwa sejarah yang sangat dramatis dan menimbulkan trauma bagi masyarakat Sunda umumnya, yakni Perang Bubat, (bubat berasal dari kata bobat) atau perang bohong-bohongan yang terjadi ketika sepasukan tentara Majapahit, atas perintah Patih Gajah Mada, menyerang rombongan Putri Padjajaran Diah Pitaloka (diyakini di daerah Majalengka) sekadar untuk menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan putri Kerajaan Sunda itu.
“Bahwa ada kosakata-kosakata kuno yang masih bertahan ini sama dengan fenomena Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname itu lebih Jawa daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahasa Jawa Suriname lebih klasik dibandingkan dengan Jawa yang ada di Pulau Jawa,” tutur Nurochman.
Untuk Indramayu, ada dua kantong (enclave) masyarakat Sunda yang unik yang masih mempertahankan bahasa ibu Sunda di tengah-tengah masyarakat umumnya yang berbahasa Jawa (Jawa Dermayon), yakni di Desa Lelea (Kecamatan Lelea) dan masyarakat nelayan di Desa Parean (Kecamatan Kandanghaur). Orang Indramayu menyebutnya Sunda Lelea dan Sunda Parean, bahasa Sunda yang digunakan masyarakat dua desa itu hampir sama, dan berbeda dengan Sunda mainstream.
“Masyarakat Sunda Lelea dan Parean sebagai fakta dari rentetan sejarah pengaruh Kerajaan Sumedang Larang di Indramayu. Lucunya, bahasa Sunda di dua desa itu tidak mengenal tingkatan. Dalam terminologi sekarang cenderung disebut Sunda kasar,” tutur Nurochman yang penyair itu.
Ini berbeda dengan masyarakat yang berhasa Jawa. Sama dengan Jawa umumnya, mengenal tingkatan bahasa antara ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bedanya di Ciayumaja hanya mengenal dua tingkatan, yakni ngoko (Jawa kasar) dan kromo (Jawa halus).
Di antara masyarakat berbahasa ibu Jawa di Ciayumaja juga terdapat beragam perbedaan dialek dan idiolek. Misalnya masyarakat Cirebon barat (Plered dan sekitarnya), utara (Suranenggala, Kapetakan) sampai Krangkeng dan sebagian Karangampel (Indramayu), dialek dan idioleknya hampir sama, yang menonjol pada penggunaan huruf “O”, misalnya kata “tentaro” untuk “tentara“, “siro” untuk “sira” (engkau, kamu), ini berbeda dengan masyarakat Cirebon kota dan Indramayu pada umumnya yang huruf “A” tetap dibaca “A” (tidak “O”). Rata-rata wong Dermayu menyebut “aku” dengan kata reang, sedang wong Cerbon isun.
Bahasa Jawa di Indramayu (Jawa Dermayu) juga terpecah dalam dialek-dialek dan idiolek yang lebih sempit lagi. Meski secara umum sama, tapi tetap dijumpai perbedaan misalnya bahasa Jawa Dermayu masyarakat Desa Tugu (Kecamatan Sliyeg) berbeda dengan Singaraja (Kecamatan Indramayu), juga berbeda dengan Jambak (Kecamatan Cikedung).
Jejak-jejak bahasa yang menunjukkan intensitas pengaruh (hegemoni) budaya Jawa dan Sunda juga dapat terlihat jelas. Pengaruh Jawa sangat terasa mulai di Cirebon utara dari Suranenggala terus sampai ke sebagian besar wilayah Indramayu, ditunjukkan bahwa masyarakat di wilayah itu sama sekali tidak bisa berbahasa Sunda.
Berbeda dengan masyarakat sebagian besar Cirebon yang berdwibahasa, dari mulai Cirebon timur (Cileduk dan sekitarnya), Cirebon selatan (Sumber dan sekitarnya), Kota Cirebon hingga barat (Plered dan sekitarnya). Selain bisa berbahasa ibu Jawa, masyarakat Cirebon tadi juga bisa berbahasa Sunda, atau sebaliknya selain berbahasa ibu Sunda juga bisa berbahasa Jawa.
 Dari fenomena itu muncul “peng-aku-an” bahwa Cirebon ya Cirebon, bukan Sunda maupun Jawa.
Pada fenomena itu, terdapat pula sisi keanehan, yakni bahwa bahasa Sunda dan Jawa yang digunakan masyarakat di Ciayumaja, terdapat kosakata “Sunda Buhun” dan “Jawa Kuno” yang di masyarakat Pasundan atau Jawa sudah tidak lagi digunakan.
Contohnya seperti masyarakat Kecamatan Lelea di Indramayu yang berbahasa Sunda (atau disebut Sunda Lelea). Untuk menyebut kata “istriku”, bukan pamajikan atau pamajikan urang, tetapi panotog aing. Menurut Nurochman Sudibyo, budayawan setempat, panotog itu kosakata Sunda Buhun yang oleh masyarakat Pasundan sendiri sudah tidak lagi digunakan atau hilang.
Untuk bahasa Jawa, misalnya kata bobat (bohong), masyarakat Jawa (di Jateng dan Jatim) sudah sama sekali tidak mengenal. Untuk menyebut “bohong”, rata-rata orang Jawa menyebut dengan lombo atau nglombo atau ngapusi.
Kata bobat ini merupakan bahasa Jawa kuno yang oleh rata-rata masyarakat Jawa sendiri sudah tidak digunakan. Padahal, di balik kata bobat ada peristiwa sejarah yang sangat dramatis dan menimbulkan trauma bagi masyarakat Sunda umumnya, yakni Perang Bubat, (bubat berasal dari kata bobat) atau perang bohong-bohongan yang terjadi ketika sepasukan tentara Majapahit, atas perintah Patih Gajah Mada, menyerang rombongan Putri Padjajaran Diah Pitaloka (diyakini di daerah Majalengka) sekadar untuk menggagalkan perkawinan Prabu Hayam Wuruk dengan putri Kerajaan Sunda itu.
“Bahwa ada kosakata-kosakata kuno yang masih bertahan ini sama dengan fenomena Jawa di Suriname. Masyarakat Jawa di Suriname itu lebih Jawa daripada masyarakat Jawa sendiri. Bahasa Jawa Suriname lebih klasik dibandingkan dengan Jawa yang ada di Pulau Jawa,” tutur Nurochman.
Penggunaan Basa Jawa Cerbon/Dermayon

Sunda Lelea & Parean

Untuk Indramayu, ada dua kantong (enclave) masyarakat Sunda yang unik yang masih mempertahankan bahasa ibu Sunda di tengah-tengah masyarakat umumnya yang berbahasa Jawa (Jawa Dermayon), yakni di Desa Lelea (Kecamatan Lelea) dan masyarakat nelayan di Desa Parean (Kecamatan Kandanghaur). Orang Indramayu menyebutnya Sunda Lelea dan Sunda Parean, bahasa Sunda yang digunakan masyarakat dua desa itu hampir sama, dan berbeda dengan Sunda mainstream.
“Masyarakat Sunda Lelea dan Parean sebagai fakta dari rentetan sejarah pengaruh Kerajaan Sumedang Larang di Indramayu. Lucunya, bahasa Sunda di dua desa itu tidak mengenal tingkatan. Dalam terminologi sekarang cenderung disebut Sunda kasar,” tutur Nurochman yang penyair itu.
Ini berbeda dengan masyarakat yang berhasa Jawa. Sama dengan Jawa umumnya, mengenal tingkatan bahasa antara ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bedanya di Ciayumaja hanya mengenal dua tingkatan, yakni ngoko (Jawa kasar) dan kromo (Jawa halus).
Di antara masyarakat berbahasa ibu Jawa di Ciayumaja juga terdapat beragam perbedaan dialek dan idiolek. Misalnya masyarakat Cirebon barat (Plered dan sekitarnya), utara (Suranenggala, Kapetakan) sampai Krangkeng dan sebagian Karangampel (Indramayu), dialek dan idioleknya hampir sama, yang menonjol pada penggunaan huruf “O”, misalnya kata “tentaro” untuk “tentara“, “siro” untuk “sira” (engkau, kamu), ini berbeda dengan masyarakat Cirebon kota dan Indramayu pada umumnya yang huruf “A” tetap dibaca “A” (tidak “O”). Rata-rata wong Dermayu menyebut “aku” dengan kata reang, sedang wong Cerbon isun.
Bahasa Jawa di Indramayu (Jawa Dermayu) juga terpecah dalam dialek-dialek dan idiolek yang lebih sempit lagi. Meski secara umum sama, tapi tetap dijumpai perbedaan misalnya bahasa Jawa Dermayu masyarakat Desa Tugu (Kecamatan Sliyeg) berbeda dengan Singaraja (Kecamatan Indramayu), juga berbeda dengan Jambak (Kecamatan Cikedung).
Jejak-jejak bahasa yang menunjukkan intensitas pengaruh (hegemoni) budaya Jawa dan Sunda juga dapat terlihat jelas. Pengaruh Jawa sangat terasa mulai di Cirebon utara dari Suranenggala terus sampai ke sebagian besar wilayah Indramayu, ditunjukkan bahwa masyarakat di wilayah itu sama sekali tidak bisa berbahasa Sunda.
Berbeda dengan masyarakat sebagian besar Cirebon yang berdwibahasa, dari mulai Cirebon timur (Cileduk dan sekitarnya), Cirebon selatan (Sumber dan sekitarnya), Kota Cirebon hingga barat (Plered dan sekitarnya). Selain bisa berbahasa ibu Jawa, masyarakat Cirebon tadi juga bisa berbahasa Sunda, atau sebaliknya selain berbahasa ibu Sunda juga bisa berbahasa Jawa.
Masyarakat dwibahasa di Majalengka, terdapat di Majalengka bagian utara berbatasan dengan Indramayu seperti Jatitujuh dan sekitarnya. Sementara masyarakat berdwibahasa di Indramayu, terdapat di wilayah barat (Haurgeulis dan sekitarnya) yang berbatasan dengan Subang, serta Bangodua dan sekitarnya yang berbatasan dengan Majalengka.

Sumber: Pikiran Rakyat,



Pendopo Majalengka

Kabupaten Majalengka, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat,Indonesia. Ibukotanya adalah Majalengka. Kabupaten ini berbatasan denganKabupaten Indramayu di utara, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Kuningan di timur, Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tasikmalaya di selatan, sertaKabupaten Sumedang di barat.

Kabupaten Majalengka terdiri atas 26 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Majalengka. Kantor Bupati terletak di Pendopo, selatan dari Alun-alun Majalengka berdekatan dengan Masjid Agung Al Imam.
Latar Belakang Masyarakat Majalengka 
Masyarakat Majalengka umumnya berasal dari etnis Sunda secara dominan. Karena tata kehidupannya menunjukan kekentalan dengan budaya Sunda, seperti penggunaan bahasa Sunda. Namun untuk wilayah Pekaleran atau Majalengka bagian utara meliputi wilayah kecamatan Jatitujuh, Ligung, dan Sumberjaya mayoritas masyarakatnya berasal dari suku Cirebon dan bahasa yang digunakan adalah bahasa Cirebon & Dermayon